“Ini alasan kenapa dongeng dan happy ever after cuma terjadi di zaman dahulu kala : masa kini ngga memberi tempat bagi mereka untuk terjadi. Ini masalah orang-orang jaman sekarang-ngga terbatas, tapi terutama orang-orang yang tinggal di ibukota dan sudah belajar untuk bersikap skeptis dan always keep their guards up. They always keep their guards up.”
I love absurdities. And this book is full of absurd conversation. Bikin cekikikan sendiri deh.
Rasanya pengen banget ketemu dan menjadi teman tokoh-tokoh di buku Jakarta Sebelum Pagi ini, my kind of people, hehe. Tokoh utamanya adalah seorang perempuan muda berumur 20-an bernama Emina (tapi kalo bertemu dengan orang arab Emina akan memperkenalkan dirinya sebagai Aminah, konon ;p)
Here’s some things I love about Emina, kalo di buku-buku Indonesia kebanyakan, tokoh perempuan usia 20-an 30-an digambarkan sebagai karakter yang trendi, smart, sophisticated dan sukses. Makan atau traveling ke tempat-tempat keren, memakai barang-barang keren itu kayaknya hal yang biasa banget. Those books or characters are not my cup of tea, not real enough. I couldn’t relate to their lives. Beda dengan Emina.
- Emina ini adalah everyday people, common people yang mungkin aja berada dalam satu bis transjakarta dengan saya ;p
- Emina masih meniti karir, merasa dirinya sebagai kacung kantoran (dimana sebagian besar dari kita adalah betul merupakan kacung kantoran) yang pekerjaannya ngga banget.
- Emina memang tinggal di apartemen, tetapi dia tinggal disana karena kedua orang tuanya telah meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Kedua orang tua Emina mewariskan sebuah rumah yang kemudian ia tukar dengan apartemen tempatnya tinggal sekarang.
- Emina masih mempunyai sepasang nenek kakek plus adik perempuan kakeknya yang tinggal bersama di satu rumah yang ia beri julukan Rumah Para Jompo.
- Emina is a very quirky person. Gokil kalo istilah generasi 90-an mungkin yah.
Para jomponya Emina mempunyai seorang tetangga (kakek-kakek yang juga jompo) bule yang mereka panggil Pak Meneer. Jika berkunjung ke rumah para jompo Emina biasanya mampir ke rumah Pak Meneer untuk sekedar mengobrol atau meminjam buku koleksi Pak Meneer (bahkan kadang dipaksa meminjam buku oleh Pak Meneer ;p).
“Pak Meneer adalah kakek-kakek bule kece. Nin (adik perempuan kakeknya Emina) naksir berat kepadanya. Dan aku mendukung kisah cinta Nin karena satu alasan : kalau mereka kawin beneran, Nin akan dipanggil Nyonya Meneer ;p”
Cerita bermulai ketika Emina menemukan sebuah balon perak dengan sebatang bunga Hyacinth terikat di talinya di balkon apartemen. Di batang bunga tersebut tertulis namanya, Emina.
Emina kemudian menceritakan penemuannya kepada Nissa, seorang teman(kerja)nya, perempuan yang suka mengibaskan jilbab dan meninggalkan noda lipstick di giginya sendiri.
Emina memiliki hipotesa kalo balon itu diterbangkan oleh orang yang tinggal di unit satu lantai di bawah unit apartemennya. Emina ingin mencaritau siapa orang tersebut.
Ketika di weekend selanjutnya Emina mengunjungi rumah para jompo dan mampir ke rumah Pak Meneer, Emina melihat Bunga Hyacinth menghiasi rumah Pak Meneer. Bunga Hyacinth bukan merupakan bunga yang secara alami tumbuh di Indonesia. Emina pun menjadi curiga. Ketika Emina bertanya, Pak Meneer menjawab bahwa bunga itu adalah pemberian cucunya. Pak Meneer memang mempunyai seorang cucu laki-laki, Emina pernah sekali melihat cucu Pak Meneer dari jendela ketika ia masih kecil. Apakah mungkin cucu Pak Meneer yang mengirimkan ia bunga?
Emina memulai penyelidikan(amatir)nya dengan mendatangi toko bunga di apartemennya, siapa tau ada yang membeli bibit bunga Hyacinth akhir-akhir ini. Dari kunjungan itu Emina berkenalan dengan seorang anak perempuan nyeleneh nyrempet creepy yang memiliki rambut bak iklan shampo, Suki namanya. Dari Suki Emina berkenalan dengan Abel, cucu Pak Meneer (ternyata hipotesis Emina benar) yang memiliki phobia (yang parah) terhadap suara dan sentuhan.
“Aku menggigit bibir dan merasa malu. Suki dan Nisa memang benar. Kalau ini Silence of the Lambs, aku adalah mbak-mbak kurang cerdas yang dengan sukarela turun ke sumur.”
Emina lagi-lagi menerima sebuah balon perak berikut bunga Hyacinth lagi di balkon apartemennya. Kali ini kiriman balon dilengkapi dengan sebuah surat cinta.
Surat yang dikirimkan Abel (sang tersangka stalker) ternyata berasal dari potongan halaman kosong dari buku2 milik Pak Meneer. Di awal surat-surat tersebut (Abel memiliki banyak sampel surat-surat yang ia sobek dari buku2 kakeknya) selalu ada tulisan BAR sebagai misteri tambahan. Siapakah penulis surat-surat tersebut? Siapakah BAR? Dari surat-surat tersebut Emina dan Abel yang mempunyai chemistry bak wi-fi super kenceng kemudian menelusuri tempat-tempat di Jakarta untuk mencari hubungan antara masa lalu dan masa kini sambil berusaha melompati tembok mereka masing-masing.
Waktu pertama kali buku ini terbit saya mengurungkan niat untuk membelinya karena design cover yang terlalu mirip dengan I’ll give you the Sun nya Jandy Nelson, jadi ilfeel aja. Hehe. Untungnya dicetak ulang dengan cover baru dan ternyata bukunya baguus, karakternya juara, terutama Emina dan Suki. Plus buku ini dilengkapi dengan ilustrasi2 keren dan sedikit banyak bikin saya penasaran dengan sejarah spot-spot tertentu di Jakarta.
I love this book. Dibaca kedua kalinya pun sama sekali ngga bikin bosen. Percakapannya yang hiperbolis dan kental dengan sarkasme tapi bisa bikin cengar cengir sendiri di depan umum (saya literary ketawa sendiri di antrian Transjakarta ;p). Menghibur banget bisa baca cerita yang berbeda seperti Jakarta Sebelum Pagi. 5 bintang dari saya.
Here’s some of my favorites quotes from this book :
“Bottom line, life goes on, aku menyimpulkan, dan dia mengangguk. Untuk menghancurkan suasana, aku menambahkan, What doesn’t kill you, makes you Darth Vader ;p”
“Bukannya aku tahu mau bekerja dimana, dan sebagai apa. Aku melanjutkan sekolah, masuk kuliah dan diburu-buru kerja. Setelah masuk kerja, merasa tersesat karena ini bukan pekerjaan yang kuinginkan. Tapi, kalau aku mau berhenti sebentar untuk memikirkan apa yang kuinginkan, orang-orang akan berlari melewatiku dan bersikap meremehkan. Ngga menyadari bahwa mereka hanya anggota dari kelompok orang-orang yang ngga berpikir.
Ditambah lagi, begitu masuk kerja, kita sadar kalau uang itu sulit didapat dan kita membutuhkannya; dan berhenti untuk berpikir akan membuat kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkannya. Jadi kita terus bekerja di tempat yang sama.
Kurasa ini masalah yang umum dihadapi, tapi agak menakutkan menyadari bahwa aku juga harus menghadapinya. Semua orang takut miskin dan takut dipandang rendah. Tapi, kurasa, melihat Suki yang menekuni teh dengan begitu semangat, kurasa aku lebih takut jadi orang yang ngga tau apa yang disukai. Lebih takut jadi bagian dari orang-orang yang bahkan ngga memikirkan apa yang membuat mereka bahagia.”
“Kami berjalan berdampingan, tapi aku menjaga jarak setengah lencang kanan supaya terhindar dari accidental homicide terhadap penderita sentuhanfobia.”
“Semua orang mengalami tragedi dalam hidupnya. Nggak semuanya besar menurut orang, tapi semuanya besar bagi yang mengalami.”
“You’re damaged too. But that’s what makes you special. Some things are better damaged.”
“Pak Meneer berdehem dan menunduk sekilas sebelum memandangku lagi. Kumisnya bergerak-gerak, mengacaukan konsentrasiku. Kumisnya agak mirip ikan tongkol ;p”