Where She Went By Gayle Foreman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Alih Bahasa : Poppy D. Chusfani

Tebal : 231 Halaman

“I’ve blamed her for all of this, for leaving, for ruining me. And maybe that was the seed of it, but from that one little seed grew this tumor of a flowering plant. And I’m the one who nurtures it. I water it. I care for it. I nibble from its poison berries. I let it wrap around my neck, choking the air right out of me. I’ve done that. All by myself. All to myself.”

Tiga tahun setelah peristiwa kecelakaan mobil yang menewaskan seluruh anggota keluarga Mia Hall, ia telah berhasil membuktikan dirinya mampu untuk sukses di sekolah musik Juliard dan menjadi salah satu pemain Cello muda berbakat yang diakui di dunianya. Mia kini meneruskan hidupnya di New York.

Adam yang tiga tahun lalu bersumpah akan melakukan apa saja, temasuk meninggalkan Mia,  jika saja Mia bersedia bangun dari kondisi komanya, kini telah menjadi gitaris dari salah satu band ternama Shooting Stars. Album perdana mereka Collateral Damage menjadi hits di seluruh dunia. Adam tinggal di Los Angeles bersama kekasihnya yang berprofesi sebagai seorang artis, Bryn.

Keduanya telah jauh meninggalkan Oregon. Tempat asal mereka berdua.

Melalui narasi Adam kita mengetahui bahwa setelah Mia akhirnya mulai keluar dari kondisi koma dengan menggerakkan jarinya, empat hari kemudian Mia terbangun. Mia kemudian menjalani rehabilitasi dengan senantiasa didampingi oleh Adam. Mia menolak penangguhan beasiswanya untuk bersekolah di Juliard dan bersikeras untuk pergi. Pada awalnya komunikasi berjalan lancar diantara Mia dan Adam, sampai suatu saat Mia memutuskan komunikasi begitu saja.

Mia menolak segala pesan dan telepon dari Adam. Meninggalkan Adam tanpa penjelasan begitu saja (menurut Adam karena buku kedua ini diceritakan dari sudut pandangnya). Adam patah hati dan depresi. Setelah beberapa waktu berada dalam “masa2 mengkhawatirkan”, suatu hari Adam beranjak dan menulis lagu. Seluruh lagunya menjadi bahan di album Collateral Damage dan Album itu menjadi hits di seluruh dunia.

Kini tiga tahun kemudian Adam tengah berada di New York. Ditengah2 tour band Shooting Star. Malam itu Mia akan menggelar konser solo di Carniege Hall. Adam yang tengah gusar karena sebuah wawancara melihat posternya dan segera membeli tiketnya. Tiga tahun kemudian Adam tersihir ulang oleh permainan Cello Mia. Dan semua kenangan, kemarahan, pertanyaan mengalir kembali tanpa mampu dibendung.

Melalui narasinya kita bisa merasakan betapa patah hatinya Adam. Betapa sebenarnya ia tidak rela ditinggalkan begitu saja tanpa penjelasan. Betapa bagaimanapun marahnya, Adam masih mencintai Mia.

Let me tell you this! Dalam suatu hubungan (apapun itu), asumsi adalah suatu hal yang sangat berbahaya yang jika dibiarkan dapat menggiring kepada kehancuran. Yang saya lihat dalam cerita ini adalah Adam terlalu banyak berasumsi. Ketika Mia meninggalkannya Adam menjadi egosentris dan menganggap dirinya orang paling menderita sedunia. Lupa kalau Mia sedang menghadapi kehilangan yang lebih besar, Ayah, Ibu dan adik lelakinya dalam seketika meninggalkkannya di dunia. Hanya Mia yang tersisa hidup. Dan luka seperti itu tidak akan bisa sembuh dalam hitungan bulan. Butuh tahunan, bahkan mungkin seumur hidup akan menjadi lubang yang menganga.

Walau Adam pada akhirnya bangkit dan berhasil membuat dirinya sukses. Ketidakrelaan itu terbaca jelas di narasinya. Dan gumpalan perasaan yang terpendam itu telah merubah Adam menjadi granat berjalan. Salah sedikit maka semua orang akan terkena akibatnya.

Lupakah ia bahwa dirinya pernah mengucap janji bahwa ia rela meninggalkan Mia jika Mia berhasil bangun dari koma dan menemukan bahwa tetap bersama dengannya terlalu berat (karena semua kenangan akan keluarganya). Pada kenyataannya Adam belum bisa merelakan Mia. Dan memang jika dia tidak rela dan masih sangat mencintai Mia maka kejarlah! bertanyalah! bersikaplah lebih berani sedikit dan hampiri Mia! Bantu Mia menghadapi peperangannya..

Di buku kedua ini saya malah jauh lebih bisa merasakan simpati kepada Mia dibandingkan dengan buku pertama.

Dan ketika dia akhir2 cerita terdapat adegan dimana Adam menemukan bahwa yang membeli gitar akustiknya yang ia lelang beberapa tahun yang lalu dengan harga sangat mahal adalah Mia, ingin rasanya saya melompat ke dalam buku, merebut gitar akustik itu dari tangan Adam dan memukulkan gitar tersebut ke kepala Adam. You fool!! 😀 Dasar laki-laki.. hehehe..

“You?’ is all I can manage to choke out.

‘Always me,’ she replies softly, bashfully. ‘Who else?”

If I Stay By Gayle Foreman

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Alih Bahasa : Poppy D. Chusfani

Tebal : 195 Halaman

“Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you.”

Awal tahun ini inget banget temen2 di komunitas Blogger Buku Indonesia banyak yang menominasikan tokoh Adam di buku ini sebagai ‘My Number 1 Book Boyfriend’. Saya timbunlah buku ini beserta sequelnya Where She Went selama berbulan2 dan baru dibaca kemarin2. Hehe.

Huuumm. Sepertinya saya akan lebih dapet feelnya kalo baca yang versi aslinya. Atau memang waktu baca lagi kurang sensitif aja kali ya jadi buku ini ngga bikin saya terharu biru seperti yang banyak dialamin temen2 yang sudah baca duluan.

Dalam buku ini tokoh utamanya adalah seorang remaja perempuan yang bernama Mia Hall. Mia adalah seorang pemain Cello yang cukup berbakat. Mia terlahir di keluarga yang mencintai musik, namun saja Ayah dan Ibunya lebih ke aliran musik band dan berbeda dengan Mia yang menyukai musik klasik. Mia juga memiliki seorang adik laki2. Secara sekilas kehidupan Mia lengkap, ia punya keluarga kecil yang bahagia dengan kehidupan mereka. Ia punya kegiatan yang sangat dicintainya yaitu bermain Cello. Dan Mia punya Adam.

Adam, kekasihnya yang termasuk ke dalam kategori ‘cowo keren’ di sekolahnya. Adam yang gitaris sebuah band yang karirnya mulai beranjak naik. Adam yang memiliki banyak penggemar wanita.

Mia yang selalu merasa berbeda dari anggota keluarganya yang lain ini seringkali heran mengapa Adam tertarik kepadanya. Namun dengan mulusnya Adam masuk ke dalam kehidupan Mia, termasuk juga ke dalam kehidupan anggota keluarganya. Adam sudah nyaris seperti anak ketiga dalam keluarganya. Bahkan Adam lebih nyambung dengan Ayah dan adik lelakinya dibandingkan dengan Mia sendiri.

Di suatu hari yang bersalju di daerah Oregon. Sekolah2 memutuskan untuk meliburkan murid2 mereka. Ayah Mia yang seorang guru juga diliburkan. Akhirnya keluarga itu memutuskan untuk pergi bersama mengunjungi kakek dan nenek Mia.

Hal terakhir yang diingat Mia adalah Cello Sonata No.3 Beethoven. Setelah itu tiba2 Mia berada di luar mobil. Mobil yang mereka kendarai hancur berantakan. Mia dapat melihat jasad Ayah dan Ibunya yang tidak utuh lagi. Mia juga melihat ada sosok yang terlempar ke parit, Mia mengira itu Teddy adik laki2nya. Setelah dihampiri ternyata ia melihat tubuh fisik dirinya sendiri terbaring di parit. Darah merembes dari bajunya.

Selanjutnya Mia menyaksikan regu penolong dan ambulans mulai berdatangan. Ia juga melihat tubuhnya diangkut ke dalam helikopter untuk diterbangkan ke rumah sakit terdekat. Ia menyaksikan upaya para tenaga medis untuk menyelamatkan nyawanya. Bahkan kemudian setibanya di rumah sakit Mia menyaksikan sendiri operasi yang dilakukan untuk menjaga dirinya tetap hidup. Mia melihat tubuhnya yang carut marut penuh dengan luka. Ia nyaris tidak mengenali dirinya sendiri.

Lalu para penjenguk mulai berdatangan. Kakeknya, neneknya, sahabatnya Kim, dan Adam. Melalui pembicaraan para tenaga medis Mia mengetahui bahwa adiknya Teddy telah meninggal dunia di rumah sakit yang lain. Dalam satu hari Mia kehilangan seluruh anggotanya. Dalam satu kedipan mata ia tertinggal sendirian. Mia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tanpa anggota keluarganya.

“I realize now that dying is easy. Living is hard.”

“I’m not sure this is a world I belong in anymore. I’m not sure that I want to wake up.”

Mia menyaksikan neneknya, kakeknya dan Adam berbicara pada tubuhnya yang terbaring dipenuhi dengan selang2 yang berfungsi menjaga dirinya tetap hidup. Ia menyaksikan kakeknya berbicara bahwa ia merelakan Mia pergi jika memang sakit yang Mia pikul tidak tertahankan. Ia juga melihat Adam memohon agar dirinya tetap hidup apapun resikonya. Ia melihat Kim sahabatnya menangis tersedu2. Namun Mia merasa takut. Sanggupkah ia hidup dengan menahan semua kesedihan akan kehilangan seluruh anggota keluarganya.

Mia merasa letih dan menyerah. Ia menunggu kemana nasib akan membawanya.

Ending buku ini begitu membuat penasaran hingga saya menyarankan untuk tidak jauh2 menaruh buku sequelnya yang berjudul Where She Went. Di buku pertama ini, cerita diambil dari sudut pandang Mia, karakter Adam belum terlalu terlihat dengan jelas hingga saya belum bisa memutuskan pendapat saya terhadap Adam. Dan setelah membaca buku keduanya baru saya mengenal siapakah Adam ini.

Mia adalah tipe remaja perempuan yang tidak mencolok namun mudah untuk disukai karena kesederhanaannya. Mia adalah remaja perempuan luar biasa yang merasa dirinya biasa-biasa saja. Dan itulah yang membuatnya menjadi menarik.

Over all buku pertama ini terasa seperti introduction alias kata pengantar untuk buku keduanya yang ternyata menurut saya lebih mempunyai jiwa. Tapiiii ntar aja saya ceritanya di review buku yang kedua yaa. Kali ini saya kurang sependapat dengan groupiesnya Adam di komunitas Blogger Buku Indonesia. Semoga nanti saya ngga ditimpukin rame2 oleh para penggemarnya Adam waktu menayangkan review buku Where She Went besok2. Hehehe.

““It’s okay,’ he tells me. ‘If you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I’ve ever wanted anything in my life.’ His voice cracks with emotion. He stops, clears his throat, takes a breath, and continues. ‘But that’s what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It’s okay if you have to leave us. It’s okay if you want to stop fighting.'”

“If you stay, I’ll do whatever you want. I’ll quit the band, go with you to New York. But if you need me to go away, I’ll do that, too. I was talking to Liz and she said maybe coming back to your old life would be too painful, that maybe it’d be easier for you to erase us. And that would suck, but I’d do it. I can lose you like that if I don’t lose you today. I’ll let you go. If you stay.”