Tebal : 373 Halaman
“He asked himself dully whether whenever you got your way, you wish afterwards that you hadn’t.”
Kenapa ya dari dua buku W. Somerset Maugham yang udah saya baca tokoh utamanya selalu bikin kesel. Apakah karena memang realitasnya mayoritas manusia seperti itu? Kalo di The Painted Veil saya dibikin kesel sama Kitty, di buku ini saya berulang kali pengen jitak Philip Carrey si tokoh utama pake palu.
Tapi udah gitu selalu di titik tertentu jatuhnya jadi kasihan. Baik sama Kitty maupun sama Philip. Itulah jagonya W. Somerset Maugham kalo kata saya. Kita dibikin sangat terlibat dengan kehidupan dan emosi sang tokoh utama karena saking keselnya liat kelakuannya. Lalu tanpa sadar di akhir2 kita jadi kasihan karena pada akhirnya, semua pilihan dan keputusan yang salah itu menjerumuskan sang tokoh utama itu sendiri. Tapi untungnya ending di buku ini ngga semenyebalkan The Painted Veil.
Philip Carey ditinggal meninggal kedua orang tuanya semenjak kecil. Ia yang juga menderita deformitas (clubfoot) pada sebelah kakinya lalu dibesarkan oleh Paman dan Bibinya di areal biara di sebuah daerah kecil bernama Blackstabble tidak jauh dari kota London. Rrrrr.. Kepribadian Philip sangat dipengaruhi oleh rasa rendah diri terpendamnya (baik karena yatim piatu maupun deformitasnya), ia tumbuh menjadi remaja yang mmm.. defensif, negative thingking dan sedikit pemimpi (dalam artian yang ngga begitu bagus).
Orang tuanya meninggalkan Philip dengan warisan yang pas jumlahnya hingga diperkirakan Philip dapat menghidupi dirinya sendiri. Oleh karena itu Pamannya selalu berhati-hati dalam mengatur pengeluaran Philip. Namun sang pemuda menganggap Paman nya terlalu banyak mengatur dan ingin segera pergi dari pengawasan paman dan bibinya.
Philip lalu berpindah kesana kemari dan berganti2 profesi ini itu hanya untuk berhenti di tengah dan merasa semuanya tidak ada gunanya. Terlalu banyak mengeluh memang mas Philip ini, plus lagi tampaknya memang ybs sedikit labil dan ngga tau maunya diri sendiri apa (tuh kan saya malah ngomelin tokoh utamanya).
Philip kemudian memutuskan untuk menjadi seorang Dokter. Semuanya kondisinya diperburuk waktu Philip jatuh cinta pada seorang wanita super nyebelin bernama Mildred. Ya ampun.. Mas Philip ini yah, udah diperlakukan luar biasa buruknya oleh Mildred, dikhianatin, ditikam dari belakang, dimanfaatin dsb dsb tetep aja ngga berdaya kalo Mildred minta tolong dan selalu dengan segala daya upaya ngebantu jeng satu yang keterlaluan itu. C’mon man, she’s not worthed at all *sini saya sadarin pake palu*
Segitu keselnya sama kebodohan Philip sampai pada titik tertentu jadi kasihan. Dan biarpun kesel ngga bisa berhenti buat baca karena pengen tau apa yang kemudian terjadi pada Philip.
Pada titik terendah di hidupnya Philip menemukan bahwa pride dan ego yang selama ini ia pelihara sebenarnya tidak ada artinya. Beruntung di antara hari2 superfisial yang ia jalani Philip sempat dipertemukan dengan orang2 tulus yang tanpa berpikir dua kali mengulurkan tangan ketika semua orang sudah berpaling.
Dari titik terendah itu saya dibawa untuk melihat Philip yang perlahan-lahan menjadi dewasa. Dan ketika Philip akhirnya mengerti apa itu bahagia, saya rasanya pengen memberikan standing ovation karena terlalu lama dibikin mengkel oleh mas Philip.
“Why did you look at the sunset?’
Philip answered with his mouth full:
Because I was happy.”
Endingnya mungkin bukan sesuatu yang indah meledak2. Namun untuk seorang tokoh seperti Philip, semua itu cukup luar biasa (saya kira dia akan menderita selamanya). Pelajaran bahwa kadang mungkin seseorang harus dibuat nyaris mati untuk menemukan titik balik, namun tidak pernah ada kata terlambat. Dan kalo kita memang mau berhenti meratap dan memandang diri sebagai korban, second chance mungkin memang selalu ada. Dan dari sana setiap orang bisa membangun lagi hidupnya.
Ah.. Philip, ikut lega karena akhirnya dia mengerti juga.. Tepuk tangan untuk W. Somerset Maugham yang udah bikin saya esmosi jiwa sekaligus ngga bisa berhenti buka halaman demi halaman. Disitulah jagonya sang pengarang ini.
“Life wouldn’t be worth living if I worried over the future as well as the present. When things are at their worst I find something always happens.”