Tebal : 107 Halaman
Setelah ditimbun dari kapan tahun akhirnya kebaca juga buku tipis ini. Buku yang bikin saya kaget dan sedih dengan endingnya. Ngga nyangka kalo buku setipis ini bisa menyebabkan efek sebegitunya. John Steinbeck ternyata ahli membangun emosi dan “panggung” dari ending yang sudah dia siapkan.
Tema besar dari buku kecil ini (menurut saya) adalah rasa kesepian dan persahabatan. Persahabatan antara Lennie, seorang pria berbadan dan bertenaga besar namun bermental seperti anak-anak dan George, seorang pria kecil yang (lumayan) pintar. Rasanya dalam buku tidak ditulis secara eksplisit tentang tahun latar cerita ini. Namun dari sumber-sumber yang saya baca cerita dalam buku ini berlatar ketika Amerika mengalami krisis ekonomi pada tahun 1920an.
George dan Lennie berpindah-pindah kerja dari suatu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Kebanyakan penyebab mereka harus berpindah adalah Lennie yang (secara tidak sengaja) menimbulkan masalah. Lennie adalah lelaki besar bermental anak-anak yang sangat suka mengelus2 hewan peliharaan atau apapun yang menarik minatnya.
Kali terakhir mereka bekerja, mereka harus melarikan diri karena Lennie ingin memegang baju dari seorang perempuan yang menurut Lennie kainnya bagus dan menarik. Perempuan tersebut ketakutan dan menjerit-jerit, karena panik Lennie tidak sengaja memegang tangan perempuan tersebut keras-keras. Lennie pun dituduh berbuat tidak senonoh dan mereka berdua harus kabur untuk menyelamatkan jiwa Lennie dari aksi “main hakim sendiri”.
Cerita dibuka dengan adegan dimana George dan Lennie sedang beristirahat di tepi danau dekat tempat baru dimana mereka akan bekerja. George memaksa Lennie untuk menyerahkan benda yang ada dalam sakunya yang ternyata adalah sebuah tikus mati. Lennie tidak bermaksud untuk membunuh tikus itu, bahkan dia ingin memeliharanya. Namun karena tenaganya yang terlalu kuat, Lennie tidak sengaja membuat tikus tersebut mati.
George marah dengan kelakuan Lennie. Namun pada akhirnya hatinya luluh. Dan saya terharu ketika dengan polos seperti anak kecil Lennie minta George untuk menceritakan ulang mimpi mereka berdua. Mereka berdua bermimpi memiliki sepetak lahan dan rumah lengkap dengan kebun kecil. Mereka juga ingin memelihara binatang seperti sapi, ayam dan spesial pesanan Lennie, mereka harus memelihara kelinci. Lennie sangat ingin memelihara kelinci sampai bisa dibilang nyaris terobsesi.
Sepanjang awal cerita saya terus-terusan mencari ulterior motif kenapa George mau bersusah payah mengurusi dan menjaga Lennie. Memastikan bahwa Lennie tetap aman dan tidak mendapatkan masalah. Tidak ada pertalian darah antara mereka. Mereka dua orang yang simply menjalani hidup berdua. Awalnya pikiran skeptis saya menduga pasti ada penyebab lain, hutang budi atau latar belakang sejarah lain yang menyebabkan Lennie sangat menghormati dan menyayangi George dan George juga sangat perduli dengan Lennie, walau terkadang tidak dipungkiri George pun merasa terbebani. Jawabannya ada dalam quotes ini yang dilontarkan oleh seorang tokoh di ¾ terakhir buku.
“A guy goes nuts if he ain’t got nobody. Don’t make no difference who the guy is, long’s he’s with you.”
Mereka bersabahat, pure bersahabat karena memiliki seseorang jauh lebih baik dari kesepian sendirian. Tidak perduli seperti apa dan siapa orang itu, jika mereka sudah saling membantu dalam waktu yang begitu lama mereka akan begitu terbiasa satu sama lain dan menerima apa adanya.
Mengingatkan saya teori karangan saya sendiri tentang kaos bekas. Kaos yang sudah lama kita pakai di rumah semakin lama akan semakin nyaman, tidak perduli warnanya semakin pudar atau ada bolong kecil di sana sini, kita akan semakin nyaman memakai kaos tersebut karena sudah sangat terbiasa dengannya. Dan tidak mungkin kita dengan mudahnya membuang rasa nyaman tersebut. Metafora yang saya ciptakan sendiri tentang suatu bentuk hubungan yang ideal.
Anyway, George dan Lennie akhirnya tiba di tempat kerja mereka yang baru. Disana mereka bertemu dengan tokoh-tokoh tambahan yang juga sarat dengan rasa kesepian. Candy, Slim, Curley, Istri Curley dan Crooks.
Saya tidak akan menceritakan kelanjutannya ah. Nanti jadi spoiler. Yang jelas, saya berharap cerita ini memiliki ending yang berbeda. Karena ketika menutup buku saya dilingkupi dengan perasaan sedih dan muram. Seperti menonton film dengan ending yang menyesakkan.
Another great classics story yang simpel, sarat makna dan menurut saya wajib dibaca.
Posting review terakhir di tahun 2011. Mudah-mudahan di tahun 2012 lebih rajin baca dari pada rajin beli buku *lirik timbunan* hehehe..
aaaah… baru baca reviewnya udah mengharukan. Cerita tentang persahabatan selalu bisa membuat terharu.. >_<
Iya ni vin, tipis-tipis gini ternyata ini buku mengharukan 🙂 aku pun nda nyangka.
Sama, aku kaget sama endingnya. Dan terus terang, itu bikin aku gak nyaman. Kenapa harus begitu endingnya? Tapi gaya penulisan Steinbeck khas banget ya, pendek-pendek
Iya mba fanda. Aku juga sedih sama endingnya. Aku baru baca John Steinbeck kali ini siy, tapi sepertinya memang pendek-pendek, tapi sangat efektif ternyata.
sudah punya buku ini
nanti baca di 2012 ahhh
Hehehe.. Silahkan dibaca 🙂
kemren liat di gramedia..pengen beli tpi ragu-ragu..eh setelah baca review mba annisa saya jdi nyesel kenapa gk ambil hahaha
Kekekekek.. Bagus kok esi ceritanya.. 🙂 *Ngomporin*
Ou,oo.. buku jenis begini paling aku hindari… *paling ga kuat sama buku yg bikin feeling blue in the end of story*
*sedot ingus*
Hehe.. Emang kadang gimana gitu rasanya kalo nutup buku dengan perasaan nyesek.. Pengarangnya hebat berarti..
walah baca ini waktu masih kuliah, agak… agak gimana…. gitu. berbau psikologis banget *hmph….
Kekekek.. Padahal bukunya tipis ya.. Hebat John Steinbeck berarti ! 😉
Reblogged this on Baca Klasik.
Maaf apa anda punya bukunya? Of mice and men? Bs sy beli?
Maaf bukunya not for sale 🙂