Tebal : 217 Halaman
Alih Bahasa : Windy Ariestanty
“Terkadang, keadaan memaksa kita untuk berpura-pura kuat dan berani, padahal sebenarnya kita merasakan sebaliknya. Pada umumnya, akan lebih baik kalo kita tidak usah berpura-pura kuat ketika sedang merasa lemah, atau berpura-pura berani padahal merasa takut. Aku percaya, dunia akan menjadi tempat yang lebih aman kalau setiap orang yang merasa lemah menggunakan flasher dan berkata ‘Aku punya masalah. Aku lemah dan sedang berusaha semaksimal mungkin.’”
Benarkah seperti itu?
Thanks to Ally dan Melisa yang sudah merekomendasikan buku ini. Baru selesai saya baca hari ini jam 5 pagi dan ini ngebut bikin reviewnya di kantor. Buku ini akan menjadi salah satu buku kontempelasi buat saya. Sampe nangis-nangis bacanya. Dan jadi tergoda untuk menulis surat juga buat anak saya untuk dibaca ketika dia sudah dewasa. Hehe.
Cerita dalam buku ini dikisahkan melalui surat-surat seorang kakek kepada cucunya, Sam. Sang kakek telah berpuluh tahun mengalami kelumpuhan. Dan ketika mengatahui bahwa cucunya terdiagnosis autisme somehow sang kakek merasa bahwa mereka berdua memiliki banyak kemiripan dalam menghadapi hidup. Kondisi mereka berbeda dari kebanyakan orang, dan mereka harus belajar menjalani dan menerima hidup dengan kondisi tersebut.
Melalui surat-suratnya sang kakek bercerita mengenai pengalaman hidupnya. Mengenai masa lalunya. Melalui surat tersebut sang kakek mengisahkan tentang bagaimana dirinya harus menghadapi kenyataan setelah mengalami kecelakaan mobil dirinya tidak akan pernah bisa berjalan kembali. Bagaimana ternyata kondisinya malah membawa banyak pemahaman baru tentang kehidupan. Pada akhirnya hidup dengan kursi roda memberinya sudut pandang yang sama sekali berbeda dari sebelumnya.
Huaaa. Pengen banget punya kakek sepertinya kakeknya Sam. Orang dengan kondisi autisme melihat dunia dengan caranya sendiri.. Dan melalui surat-suratnya sang kakek mengajarkan agar cucunya kelak tidak terpengaruh oleh pandangan dan label yang diberikan orang lain.
Membaca buku ini membuat saya tersentil bahwa sebagai manusia, kadang kita lupa untuk bersyukur. Lupa bahwa diatas langit masih ada langit.
“Bagaimanapun rasa sakit hanyalah sebuah emosi. Tak ada satu pun emosi yang abadi.”
Banyak sekali kalimat penyembuh bertebaran dalam buku yang sangat saya butuhkan di titik ini. Somehow saya merasa surat itu tidak hanya ditujukan pada Sam. Tapi pada semua orang di dunia yang sedang bertarung di medan perangnya masing-masing. Kesedihan, kebingungan, ketakutan menghadapi hidup adalah sesuatu yang pasti dirasakan oleh setiap orang dan akan berlalu seiring berlalunya waktu. I do hope so…
“Ketika kau terluka, dekatkanlah dirimu dengan orang yang bisa mentoleransi rasa sakitmu tanpa melontarkan penilaian atau memberimu saran. Seiring dengan waktu yang berlalu, kau tidak akan terlalu merindukan apa yang dulu kau miliki dan bisa lebih menjalani apa yang kau hadapi hari ini.”
awalnya agak skeptis tapi ternyata buku ini berkesan buatku =) nggak nyesel ya bacanya nis..hayuk kita tulis surat buat anak2 kita =D
Iya, aku betul-betul tergoda untuk menulis surat untuk anak ku trid, hehe 🙂
saat ini pun kita sedang menulis surat dengan menulis, walau tak ditujukan secara khusus, paling tidak kita saat ini bersyukur pada apa yang ada sekarang dan berbagi dengan sesama
thanks for sharing 🙂
Betul.. Kebayang nanti kalo suatu masa yang akan datang anak ku baca isi blog ini 🙂
Buku ini memang berisi banyak skeali kalimat2 penyembuhan ya … aku suka pd bagian “keluar u/ membantu meringankan kesulitan orang lain” nice repiu mbak, moga menang ya #eh kok jd lomba
Iya, aku juga suka bagian surat yang itu.. Dan memang rasanya itu benar, saat kita mengulurkan tangan menolong orang lain, kita pasti merasa sedikit lebih kuat 🙂
kira-kira buku ini dapet berapa bintang, Mbak ?
Buatku 4 dari 5 bintang 😉
Kebalik kita Nis, mungkin sama seperti yang dibilang Astrid, kalau momennya ga pas baca buku bertema inspiratif yang ada malah bosan. Suka deh baca reviewnya, dan aku juga kepikiran nulis2 buat anakku nanti *ngayal*
Iya mi.. Buatku momennya pas banget.. Tulis aja suratnya dari sekarang mi.. Judulnya “Buat anakku di masa yang akan datang”
Jadi terinspirasi juga buat surat untk org yg kita sayang kelak, hehe. Teknologi sekarang udah maju, kita bisa menyetting waktu kpn surat tsb terbit, lewat blog atau email mungkin :))
Oiya yah, tapi jangan2 jaman anak2 kita nanti teknologi posting terjadwal udah ketinggalan zaman, wkwkwk
iya mbk, klo baca review2 buku ini pengen punya kakek seperti Sam, apalagi aku gak pernah ngerasain punya kakek yang sebegitu dekatnya ama cucu
Aku juga ngga pernah ketemu sama kakek ku.. jadinya mupeng banget.. 🙂 🙂
nah, kan pada terinspirasi untuk menulis surat untuk anak2 kita kan?, nanti kita bukukan dengan judul Surat para Blogger Buku untuk anak-anaknya” :))
yuk nulis surat buat anak.. hehe.. kayaknya kalo nulisnya dalam bentuk surat lebih romantis, hehehe..
Hehehe… efek buku ini berbeda-beda buat tiap orang yah mbak. Btw emang aku ya yang pernah ngerekomendasiin buku ini? *asli lupa*
Iya via whatsapp hehehe… udah lama juga siy..
Oh iya yaaa… wkwkwk… Whatsapp ku lama gak jalan soalnya HP ku rusak nih…hiks hiks hiks :((
Hehehehe.. Pantesan statusnya ngga pernah berubah.. 😉 wkwkwkwk
Dibanding ma reviewer lain, mba Annisa kayaknya yang paling dapat emosi buku ini. Semoga bulan depan udah bisa baca buku yang satu ini
>.<
Mungkin karena timingnya itu al yang lagi tepat, hehe.. Udah jadi pesan online buku ini?
Iya memang berasa kalau yang nulis pakai hati, aku juga mikir gitu Al, reviewnya Annisa paling sentimentil 🙂
Kekekek… *sentimentil mode on* 🙂 🙂
Kalo nulis surat untuk anaknya, mirip Gadis Jeruk-nya Jostein Gaarder dong. Tapi bukan cuma surat, tp kisah sepanjang satu buku, itu pun setelah sang ayah meninggal, bertahun2 kemudian baru anaknya baca dan menjadi mengerti.
Iya, kebeneran saya juga udah baca Gadis Jeruknya Jostein Gaarder and it is one of my fav books 🙂