Ya Gustiii.. Ini cerita sedih banget yak! Dan kenapa pula saya suka sama cerita-cerita sedih macem gini.
Maaf reviewnya dibuka seperti ini karena saya sesungguhnya masih baper.
Kenyataan memang seringkali jauh dari indahnya cerita dalam dongeng. Namun di mata seorang anak 6 tahun seperti Ava, anak perempuan yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini, bisa jadi kepahitan dan kegetiran tersebut diceritakan sebagai kondisi biasa. Hal itulah yang membuat membaca buku ini membawa efek geram.
Ava memiliki sepasang Papa dan Mama. Papanya suka marah-marah dan memukul Mamanya. Bagi Ava, Papanya itu menakutkan seperti hantu. Ava berasumsi semua Papa itu jahat. Asumsi Ava bertambah kuat ketika ia bersama orang tuanya harus pindah ke sebuah Rusun bersama Rusun Nero. Papanya membawa mereka pindah kesana karena baru menerima warisan dan ingin tinggal lebih dekat ke tempat perjudian.
Di sana Ava bertemu dengan seorang anak lelaki berumur 10 tahun yang bernama P (iya namanya hanya huruf P) yang juga tinggal di Rusun Nero. Pertemuan mereka terjadi di warung makan, Ava-seorang anak berumur 6 tahun diberi uang dan disuruh mencari makan sendiri di luar oleh Papanya. Ava yang memesan ayam goreng kebingungan karena ia belum bisa makan ayam goreng sendiri. Di saat itulah P yang juga sedang ada di warung makan membantu dengan menyuapi Ava makan.
P lalu mengantar Ava kembali ke unitnya, apa cerita unitnya terkunci, Papa dan Mamanya pergi keluar tanpa membawa atau mencari Ava dan menguncinya di luar. Mulai geram? Saya sih di bagian ini sudah mulai geram. Dari narasi-narasi Ava & P berikutnya kita jadi tahu kalo ternyata Papa P juga jahat dan sering memukulnya. Ava dan P lalu menyimpulkan bahwa semua Papa di dunia ini jahat. Beruntung P mempunyai teman di Rusun yaitu Mas Alri dan Kak Suri.
Bagaimana dengan Mama Ava? Mama Ava sesungguhnya bukan orang yang jahat. Mama Ava hanya teramat sangat takut kepada Papa Ava. Mama Ava, ketika sibuk dengan perasaannya sendiri kadang melupakan keberadaan Ava. Menurut P sih mamanya Ava juga jahat, namun jahat yang berbeda dengan Papa Ava. Bagaimana menurut saya? Menurut saya Mamanya Ava bisa berusaha lebih baik kalau dia mau. Tapi dia tidak berusaha, dan disitulah letak permasalahannya. Disitulah Ava menerima collateral damage dari kekacauan kedua orang tuanya.
P tidak punya Mama. Mama P meninggalkan P dengan papanya ketika ia masih bayi. P dibesarkan oleh Papanya. Di usia yang 10 ini Papa P juga sudah tidak ambil pusing akan keberadaan P, bahkan cenderung marah besar yang berujung pada kekerasan jika ia melihat P. P tidak punya kasur, ia tidur di dalam kotak kardus besar di dalam unit Papanya.
Sudah geram? Di bagian ini saya sudah mulai ingin menangis, tapi saya tidak bisa berhenti membaca buku ini. Saya khawatir dengan Ava dan P.
Alur cerita berakselerasi ketika Papa dan Mama Ava bertengkar dan Papa Ava mencoba mengurung Ava di dalam koper besar, terjadi keributan hebat di unit Rusun mereka, para tetangga akhirnya ikut campur, Mama Ava membawa Ava kabur dan menginap di Hotel. Tapi kondisi tersebut tidak menghalangi Ava dan P untuk bermain bersama.
Suatu ketika Ibu Ava ketiduran dan tidak awas akan keberadaan Ava. Ava berakhir di Rusun lagi karena ia sangat suka bermain dengan P. Namun sialnya ketika Ava dan P sedang bermain di Unit P, Papa P datang. Ava yang sedang menengok kardus tempat P tidur ketakutan. P mencoba melindungi Ava dengan menyembunyikannya dalam kardus, Ava yang mendengar suara pukulan2 mengerikan akhirnya berteriak keluar dari kardus sambil memukul Papa P dengan gitar. Ternyata P dipukul di bagian tangan oleh Ayahnya dengan menggunakan setrika panas.
Dari titik inilah kisah pelarian Ava dan P bermulai. Dari titik ini kita bisa melihat upaya setengah-setengah orang dewasa untuk membantu sepasang anak berusia 6 dan 10 tahun dan dibuat geram karenanya.
Ava adalah seorang anak perempuan pintar yang selalu membawa kamus kemana-mana untuk melihat arti kata-kata yang ia dengar. P adalah seorang anak laki-laki yang kuat namun lembut hatinya walaupun kehidupannya sangat sulit. Mereka berdua percaya bahwa hanya melalui reinkarnasi mereka bisa hidup bahagia walaupun mereka hanya punya ide samar-samar tentang bahagia. Ava ingin menjadi penguin di kehidupan selanjutnya. P ingin menjadi badak bercula satu.
Mereka tidak sepantasnya menjalani semua yang mereka jalani.
Mereka seharusnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Mereka seharusnya bisa percaya bahwa di kehidupan ini mereka bisa bahagia.
Mereka seharusnya tahu bahwa tidak semua Papa jahat dan tidak semua Mama tidak berdaya.
Para orang dewasa seharusnya bisa berbuat lebih dari ini.
Hidup ini tidak adil. Saya benci bahwa terkadang hidup ini tidak adil bahkan terhadap anak kecil sekalipun.
Suatu waktu saya pergi ke pusat perbelanjaan Grosir di Jakarta, di bilik kamar mandi saya mendengar kemarahan seorang Ibu kepada anak perempuannya hanya karena anak perempuannya secara tidak sengaja menyiram baju Ibunya dengan air. Kata-kata kasar Ibunya masih terngiang2 dengan jelas di ingatan saya “Anjing kamu! Baju Mama jadi basah, dasar anak ngga ada guna, Anjing!” lalu saya mendengar suara pukulan, kemudian suara anak perempuan menangis.
Darah saya mengalir cepat ke kepala, tangan saya terasa dingin, saya buru-buru membereskan baju dan keluar bilik kamar mandi, ketika saya keluar bilik sang Ibu sudah bergerak menyeret tangan anaknya keluar dengan terburu-buru. Anak itu menoleh ke belakang, matanya yang menangis menatap mata saya.
Mereka bertemu seorang laki-laki yang mungkin ayahnya lalu berjalan menjauh. Saya mematung, tangan saya masih terasa beku.
Saya bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa. Saya seharusnya bisa berbuat lebih baik dari sekedar mematung.
Buku ini terasa seperti momen itu.
Hidup ini tidak adil.
5 dari 5 bintang dari saya untuk buku ini.